Sederet Dampak Corona Terhadap Bisnis di Indonesia
Sederet Dampak Corona Terhadap Bisnis di Indonesia
Jakarta – Virus corona sudah menyebar ke berbagai
negara. Virus ini juga menimbulkan ketidakpastian perekonomian global, tak
terkecuali Indonesia.
Ketua Kebijakan Publik Apindo/ Wakil Ketua Umum PHRI Sutrisno Iwantono
mengungkapkan ada potensi memburuknya perekonomian Indonesia di bulan-bulan
berikutnya.
Dia menyebutkan pada Januari 2020,
ekspor Indonesia tercatat US$ 13,41 miliar turun 7,16% dibandingkan periode
Desember 2019 US$ 14,44 miliar. Jika dibandingkan dengan Januari 2019, ekspor juga
mengalami penurunan 3,71%.
“Februari, Maret dan seterusnya pasti semakin memburuk,” kata
Sutrisno
Dari sisi ekspor non migas ke China tercatat
US$ 2,1 miliar, Amerika Serikat (AS) US$ 1,6 miliar dan Jepang US$ 1,19 miliar.
Ketiga negara tersebut berkontribusi 38,41%.
Sementara itu dari sisi impor tercatat US$ 14,27 miliar turun
1,6% atau US$ 231,6 juta. “Turunnya impor bahan baku dan bahan penolong
termasuk yang berasal dari China sangat memukul industri dalam negeri. Banyak
yang terancam penghentian produksi dan merumahkan karyawan,” jelas dia.
Sedangkan dari sisi pariwisata, corona memang mengganggu
karena tak hanya turis dari China, tetapi semua negara juga mengalami penurunan.
Bisnis hotel dan restoran memang sudah mengalami penurunan
sejak beberapa tahun terakhir. Jumlah kunjungan wisatawan mancanegara pada
Januari 2020 tercatat 1,27 juta kunjungan. Pada Februari dan Maret sejak
merebaknya corona diprediksi akan terus menurun dan banyak hotel yang akan
merumahkan karyawannya.
Stimulus yang diberikan oleh Bank Indonesia (BI) melalui suku
bunga dan juga giro wajib minimum (GWM) akan berdampak pada perekonomian
nasional.
“Tentu akan berdampak, tetapi transmisi dari BI ke bank
umum tidak akan otomatis masih ada time lag, karena itu bank diminta merespon
lebih cepat,” jelas dia.
Di samping itu, menurut Sutrisno, perlu ada kelonggaran atau
relaksasi yang lain karena The Federal Reserve baru menurunkan suku bunga jadi
masih ada ruang.
Kemudian dari sisi fiskal, tentu stimulus sebesar Rp 10 triliun harus fokus untuk meningkatkan daya beli dan mendorong sektor padat karya.
Selain itu kebijakan Pph yang diwacanakan Menteri Keuangan harus segera diimplementasikan. Misalnya sektor pariwisata terutama hotel, restoran yang saat ini dalam kondisi ‘sesak’ tidak bisa hanya dengan pergantian pajak daerah 10% di 10 destinasi.
“Perlu diketahui bahwa stimulus pembebasan pajak di 10 destinasi itu bukan diterima oleh Hotel dan restoran, tetapi diterima oleh pemerintah daerah. Nah Pemerintah Pusat harusnya membicarakan itu dengan pemerintah daerah,” jelasnya.
Selanjutnya penambahan hari libur nasional pada 2020 menurut Sutrisno belum berpotensi meningkatkan konsumsi. Namun akan berdampak pada penurunan produktivitas.
“Bayangkan bila karyawan hotel disuruh libur pada masa Lebaran, mau menginap dimana orang yang pada liburan. Sementara untuk pabrik yang sudah teken kontrak dengan buyer, karyawannya libur akhirnya tidak produksi bagaimana akibatnya ya?” imbuh dia.
